Underestimate barangkali sama artinya dengan sikap mengecilkan, meremehkan, meragukan, mencibir atau memandang sebelah mata terhadap kemampuan orang lain. Jika Underestimate ditumpukan kepada anak, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang minder, terkurung dan tidak percaya diri alias peragu atau sebaliknya. Lantas, bagaimana hal itu jika ditimpakan kepada desa ?.
Underestimate atau stempel miring tentang desa banyak terungkap dalam evaluasi program di institusi pemerintah. Mereka menuding desa selalu bekerja lamban, kapasitas kepala desa dan perangkatnya rendah, membangun jika ada bantuan. Pendeknya, segenap kesalahan maupun kegagalan program lebih dialamatkan ke desa.
Belakangan juga muncul Underestimate soal desa dengan lahirnya Undang-undang 6/2014 tentang Desa, ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan desa dengan kucuran anggaran dari APBN sekitar 750 juta hingga 1 milyar setiap desa. Mereka meragukan kemampuan desa dalam mengelola dana sebesar itu, mereka pun meremehkan kemampuan desa dalam pelaporan dan pengadministrasiannya.
Sesungguhnya, jika desa di-Underestimate secara terus menerus bisa memunculkan dua pilihan, yakni desa akan lemah dan terpuruk bahkan merasa putus asa, karena apapun geraknya desa hanya akan ditimpuk salah dan salah, tidak ada ruang pembenar dan pembelaan diri bagi desa dalam improvisasi program pembangunan.
Hal sebaliknya bisa lahir, yaitu berkah yang tersembunyi (blessing disguise) bagi desa. Desa akan termotivasi, terdorong dan tergerak membangun desanya, desa akan moncer dengan iklim kreasi, inovasi hingga mampu menciptakan pasar. Desa tumbuh menjadi sosok yang percaya diri, produktif dan berdaya saing.
Semua bermula dari desa, sejak pejabat hingga rakyat yang acap sekarat hidupnya. Desa menjadi sentral dan penting dalam kekinian, apalagi di tahun politik ini. Di samping desa sebagai produsen bahan pokok, produsen TKI murah, sangat care terhadap nilai sosial budaya (gotong royong, rembug desa dan kekeluargaan yang tinggi). Semua itu merupakan modal sosial pembangunan yang tak tertawan.
Kalau sekarang banyak instusi pemerintah, partai politik dan donasi lain memilih desa sebagai lokus bantuan, nampaknya tidak ada yang salah. Karena mereka berpikiran sudah saatnya membayar hutang kepada desa, sehingga layak diperhatikan, dibantu dan didampingi tanpa mengecilkan kemampuan desa. Ini sebenarnya merupakan sebentuk hormat kepada desa.
Cina sejak awal menjadikan pembangunan desa sebagai pondasi pembangunan. Desa mengepung Kota-nya 'Mao Tsetung', saat kelaparan hebat Cina. Sedangkan Jepang, berusaha memenuhi ketahanan pangan dan memeratakan kemajuan ekonomi dengan konsep "One Village One Product," padahal negeri sakura ini tergolong negara industri. Korea Selatan, bangkit dari resesi perang dengan modernisasi desa ditambah gerakan “Semaul Undong”, pemuda terdidik terjun ke desa.
DESA BERDIKARI
Kita seyogyanya membuka diri dan mari melihat dengan cara yang berbeda terhadap desa kita. Memang masih ada desa yang akan hidup dengan intervensi pihak luar, namun jauh lebih banyak jumlah desa yang mampu berkembang dan mandiri atau dalam bahasanya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo desa berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Desa berdikari itu berdaulat secara politik, hal ini ditunjukkan dengan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, seperti musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes), pengambilan keputusan di desa yang menekankan rembug desa dan musyawarah secara kekeluargaan.
Berdaulat secara ekonomi, salah satunya ditunjukkan dengan setiap keluarga atau rumah yang mendayagunakan lahan pekarangannya dalam mencukupi kebutuhan pangan, seperti di lahannya ada tanaman sayur, terdapat kolam ikan atau sebagiannya untuk ternak – kesemuanya menuju ekonomi produktif masyarakat .
Terakhir, berkepribadian dalam budaya, hal ini dilakukan melalui konsistensi pikiran, hati dan lisan yang terungkap dalam sikap, perilaku dan tindakan yang selalu menjaga nilai-nilai budaya dan norma masyarakat setempat. Pendeknya, budaya global tersaput oleh budaya lokal (kearifan lokal) yang terus kita eksplorasi. Merawat desa tanpa artificial lebih bermakna bagi desa ketimbang retorika semata
(Kang Rachmatmarjono-bapermades)