
Adapun status Merapi dinaikkan dari Aktif Normal menjadi Waspada. Pemerintah dan instansi terkait mulai mengantisipasi bila kedua gunung terus bergejolak. Namun demikian, kegiatan warga masih berjalan normal, belum ada yang mengungsi. Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Surono, karakter letusan Gunung Slamet (3.432 meter dpl) relatif ”kalem”.
Aktivitas terakhir pada April 2007, misalnya, sebatas mengeluarkan material pijar yang jatuh di seputar kawah. Meski demikian, peningkatan aktivitas terbaru Slamet sejak Maret 2014 patut menjadi perhatian. Ia meminta masyarakat tidak tersesat informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
”Karakter Slamet tidak lebih dari itu, tapi saat ini material pijar keluar terlalu dini. Semoga tidak kebablasan,” jelas Mbah Rono, sapaan akrabnya, kemarin. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi bencana Geologi (PVMBG) menaikkan status Slamet dari Waspada menjadi Siaga sejak Rabu (30/4) pagi. Kepala PVMBG M Hendrasto menyebutkan, dinamika aktivitas vulkanik Slamet sejauh ini relatif tidak terlalu berbeda dari lima tahun lalu. Meski demikian, kondisi tersebut tidak bisa dijadikan patokan.
Pihaknya masih terus melakukan pengamatan, terutama terkait dengan suplai pasokan yang dihasilkan perut Slamet. ”Sampai saat ini, masih seperti rangkaian 2009,” jelasnya. Konsekuensi dari status tersebut, Slamet terlarang bagi siapa pun dalam radius 4 kilometer dari puncak. Penetapan area steril itu dilandasi potensi bahaya yang ditimbulkan. Di antaranya potensi jatuhan material letusan seperti lontaran batu pijar dan hujan abu lebat. Selain itu, ancaman awan panas sebagai produk letusan tak bisa diabaikan.
Kenaikan status Slamet dipicu frekuensi kegempaan yang meningkat signifikan, seperti 2.510 gempa letusan, 10.691 gempa embusan, dan 6 kali tremor harmonik. Indikasi selama sebulan itu diikuti pula dengan energi gempa yang cenderung naik. Tak hanya itu, dentuman dari arah puncak pun keras.
Dalam laporannya, PVMBG menyebut dentuman tersebut terjadi 115 kali dan menyebabkan kaca pos pengamatan Slamet bergetar sepanjang awal pekan ini. Pembengkakan tubuh gunung yang terletak di lima kabupaten itu pun terekam. Kondisi ini mengindikasikan tekanan dari perut Slamet akibat pergerakan magma. Sejak Rabu pukul 10.00, kegempaan dan letusan Slamet semakin sering dan disertai dengan muntahan material pijar. Bupati Pemalang Junaedi mengatakan, warganya siap dievakuasi apabila kondisi mengharuskan mereka mengungsi.
”Warga sudah menjalani latihan,” katanya saat mendampingi Kepala BNPB Syamsul Maarif di Pos Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kamis. Petugas Pos Gambuhan Sukedi mengatakan, sejak statusnya menjadi Siaga, Gunung Slamet meletus delapan kali dalam enam jam. ”Pemantauan dilakukan setiap enam jam, pada 1 Mei pukul 06.00-12.00 terjadi delapan kali letusan,” katanya.
Gempa Frekuensi Rendah
Meski berstatus Waspada, Gunung Merapi masih dalam fase letusan satu. Skala ini jauh dari kondisi erupsi 2010, yakni tipe letusan masuk kategori empat. Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta Subandriyo menjelaskan, sejak 2010 sampai saat ini sudah tercatat sepuluh kali erupsi minor. Namun dalam beberapa hari terakhir, aktivitas gunung cenderung meningkat.
Diawali dengan peristiwa gempa tektonik yang terasa sejak dua hari lalu. Berdasar pengalaman, gempa semacam itu biasanya memicu letusan minor. ”Dari hasil pemantauan, kondisi itu akan diikuti peningkatan gempa jenis frekuensi rendah. Gempa ini berasosiasi dengan aliran fluida gas vulkanis yang mendorong tekanan di dalam perut gunung sehingga memicu letusan minor,” terangnya. Dia menambahkan, hingga kini hanya gempa frekuensi rendah yang terpantau meningkat tajam.
Dalam kurun 20-29 April 2014 tercatat 29 kali gempa low frequency. Aktivitas solfatara masih normal. Namun karena kriteria letusan minor telah terlampaui, maka pihaknya memutuskan menaikkan status Merapi ke level Waspada. Terlebih secara visual, dari sejumlah pos pengamatan dilaporkan terdengar suara dentuman berulang kali hingga radius 8 kilometer. ”Peningkatan status ini lebih sebagai bentuk peringatan dini masyarakat dan pemangku kepentingan untuk mengambil langkah antisipasi. Meskipun belum tentu terjadi (erupsi),” ujarnya.
Dia menegaskan, sampai sekarang tidak terekam gempa frekuensi tinggi. Hal itu menandakan tidak ada indikasi pergerakan magma ke permukaan. Material yang dilontarkan juga masih jenis lama. Pihaknya juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi kepada masyarakat terkait peningkatan status Merapi.
Salah satunya, warga diimbau tidak terpancing isu erupsi yang tidak jelas sumbernya, dan tetap mengikuti arahan pemerintah daerah. Jika butuh informasi, bisa menanyakan langsung ke pos pengamatan terdekat atau ke kantor BPPTKG di Jalan Cendana Yogyakarta. Rekomendasi lain, kegiatan pendakian untuk sementara dilarang, kecuali berkaitan dengan kepentingan penelitian dalam upaya mitigasi bencana.
”Apabila sewaktu-waktu terjadi perubahan aktivitas yang signifikan, status gunung akan ditinjau kembali,” tandasnya. Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Surono mengatakan, meningkatnya aktivitas Merapi (2.968 meter dpl) tidak menutup kemungkinan merupakan pembuka bagi kelanjutan aktivitas di atas normal gunung tersebut. Meski demikian, kondisi tersebut tergantung pada tren kegempaan yang dihasilkan dari perut Merapi.
Dalam laporan BPPTKG, gempa low frequency sedikitnya terjadi 64 kali di samping gempa guguran, multiphase, embusan asap, dan tektonik. Gempa frekuensi rendah itu dianggap sebagai peningkatan yang signifikan. Suara dentuman dari arah Merapi pun kerap berlangsung berkali-kali.
Menurut Mbah Rono, suara tersebut tidak terlepas dari mekanisme yang terjadi di tubuh Merapi, terutama kemunculan gempa frekuensi rendah. ”Magma naik, kemudian terjadi pendinginan dengan cara melepas gas. Intensitasnya semakin lama dan volumenya semakin besar berikut tekanannya. Begitu terlepas secara tibatiba, bisa mengeluarkan bunyi ”dung”, tapi tidak tampak apaapa,” jelasnya. (J1,J8,H68, dwi,K40,G22-59)