Jakarta - Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengatakan lahan pertanian Indonesia yang tinggal 8,1 juta hektare terancam habis pada 2149. Munculnya ancaman itu dipicu oleh laju konversi lahan yang dua kali lebih besar daripada target pencetakan sawah baru per tahun.
Menurut Gatot, konversi lahan pertanian ke nonpertanian setiap tahun rata-rata seluas 110 ribu hektare. Sedangkan target pencetakan sawah baru hanya 50 ribu hektare per tahun. "Apa iya, kita mau makan beras dari kerikil, batu, atau beton? Tidak mungkin. Jawa sekarang sudah dikepung oleh mal, jalan tol, dan real estate," kata Gatot saat meluncurkan bukunya yang berjudul Modernisasi Pertanian Indonesia di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Sabtu, 16 Agustus 2014.
Makin menyempitnya lahan pertanian itu, kata Gatot, seiring dengan menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto. Berdasarkan sensus pertanian 2013 dari Badan Pusat Statistik, kontribusi sektor pertanian periode 2003-2013 atas dasar harga berlaku menurun dari 15,9 menjadi 14,43 persen. Sedangkan rumah tangga pertanian hanya tinggal 16,32 persen, dari 31,23 juta petani pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013.
Menurunnya kondisi pertanian itu berimbas makin terpuruknya kehidupan petani. Menurut Gatot, dari total volume kredit usaha rakyat pada 2009 sebesar Rp 16,450 triliun, hanya 15 persen yang dialokasikan untuk sektor pertanian atau sebesar Rp 2,475 triliun. "Tanpa asuransi pertanian, petani Indonesia harus berjuang melakukan free fight liberalism, melawan produk asing yang didukung penuh pemerintahnya," katanya.
Untuk mengatasi keterpurukan sektor pertanian itu, kata Gatot, mutlak diperlukan modernisasi pertanian. Di antaranya dengan mewajibkan moratorium alih fungsi lahan pertanian dan industrialisasi alat mesin pertanian.