Laman

Rabu, 02 April 2014

Indahnya Pantai Pecaron yang Tersembunyi


Bergulung-gulung. Menghajar daratan. Menerjang karang. Merayapi pasir pantai hitam. Ombak samudera selatan memecah kesunyian Pantai Pecaron. Sebuah titik sepi yang tersembunyi di pesisir selatan Kebumen. Terselinap di balik lekukan tepian perbukitan karst Gombong selatan. Belum banyak yang tahu tentang kisah pantai ini. Padahal dia memukau dengan kemeriahan pesonanya. Sepi manusia tapi riuh panorama.

“Kamu mesti ke Pecaron. Pantainya bagus tapi tersembunyi. Hidden Paradise Kebumen” kata Anas @anasafifi, sobat petualang saat dia ‘memanasi’ saya ke Pecaron. 
Pada sebuah siang yang cukup muram – matahari tak bersinar terang, akhirnya saya dan Agung pun menelisik kisah sunyi Pantai Pecaron, Kec. Ayah, Kebumen.

Motor terparkir sendirian di bawah pepohonan kelapa yang masih muda. Deretan nyiur ini adalah ujung jalan aspal rusak yang dari tadi kami lalui. Untuk menuju ke Pantai Pecaron, perlu keikhlasan menyusuri jejalanan parah sejak berbelok dari pertigaan di jalan Karangbolong – Ayah. Saya lupa di daerah mana berbelok. Mesti berani tanya kepada masyarakat setempat. Yang pasti, kalau dari Karangbolong adalah setelah tanjakan tajam dua arah dan sebelum pertigaan Desa Karangduwur ke arah Menganti.

Kami mulai menapak. Menjejak kepada pasir hitam Pantai Pecaron. Sebuah muara layaknya kolam menggenang di sisi kanan kami melangkah. Ada sebuah sungai mungil yang cukup penad melintas zaman, mengukir perbukitan karst. Saya pun mesti menyeberang muara kecil ini untuk bisa mencicipi deburan ombak di ujung daratan. Tak perlu takut, sungai ini tak bertenaga untuk menghempaskan ke laut.

Menyusuri tepian pantai ke sebelah timur. Ah, kami ternyata mendapati seorang pemancing. Ada geliat kehidupan selain kami berdua. Sang pemancing tampaknya suka kesendirian. Selain pencari ikan, barangkali dia pemburu ketenangan. 

Dari tadi kailnya tak terlihat dimangsa ikan. Tapi rasanya dia bukan datang untuk kesia-siaan. Sang pemancing ini adalah seorang penganut kesabaran. Kami pun sekedar menyesap panorama. Lekas balik melangkah ke arah barat. Dan, membiarkan sang pemancing tetap sendiri dalam kesabarannya.

Tempat yang sunyi pasti tak pernah kekurangan penikmat. Ada saja manusia yang begitu antusias mencari sebuah kesunyian. Terlebih jika berbalut keindahan. Sepenggal Pantai Pecaron yang sunyi itulah yang nyatanya ingin saya dan Agung nikmati, manusia-manusia pecinta sepi.

Mungkin, termasuk juga oleh sepasang remaja yang baru saja datang. Selepas motor diparkir, mereka langsung berjalan ke arah balik tebing yang sepi. Ah,mereka barangkali butuh sunyi untuk mengungkapkan rasa cinta masing-masing. Agung pun lantas mendoakan pasangan itu semoga tidak salah dalam melampiaskan cinta. Sunyikan bisa membiaskan iman. Tapi terserah mereka. Bukankah ada Tuhan sang Maha Melihat yang senantiasa mengawasi?

Berjalan bersanding dengan deburan ombak ke arah barat, berarti menemukan bebatuan kecil berserak-serak. Jajaran batu ini menjadi rumah bagi kerang-kerang. Mereka menyelinap dibalik hitamnya bebatuan. Karena terhalang karang, ombak pun makin melirih. Di belakangnya, pasir makin memutih, terlebih semakin merapat ke ujung. Barangkali karang-karang yang indah berkumpul di ujung barat, yang terlindung langsung teluk curam.   

Kini, kami berada di ujung pasir Pantai Pecaron. Sudah terhalang ilalang belukar di kaki tebing menjulang. Langit mencerah. Tapi, surya terhadang puncak bukit. Tanda dia sudah makin ke barat. Tanda menyongsong sore.

“Yuk, lanjut. “ ajak Agung. Dia menemukan segaris jalan di tengah ilalang. Jalan ini adalah setapak para peladang yang biasanya bekerja mengukir perbukitan curam.

Kami berjalan di tepian tebing yang langsung berbatas laut. Jalanan cukup datar tapi kudu tetap hati-hati. Pantai Pecaron dari titik ini terlihat sangat menawan. Hamparan pasir yang panjang dihadapkan pada wajah tebing-tebing tinggi. Perbukitan yang bergelombang tiba-tiba berujung vertikal ketika menyongsong ke samudera. Dari sisi berlawanan, ombak-ombak seperti berkejaran menuju daratan. Seperti cepat-cepatan berlomba memeluk Pecaron yang cantik.Selepas tebing paling menjorok ke timur, terlihatlah lebih gamblang mercusuar Pantai Menganti. Dia mungil di atas bukit yang gundul terpahat menjadi ladang. Aha.. ternyata setapak ini adalah jalan tembus penghubung Pantai Pecaron dengan Pantai Menganti.

Dan, ada pantai kecil di antara kedua pantai indah ini. Pantai Karangbata.

Kami memutuskan untuk turun. Menuju Karangbata. Jalanan curam mesti dilalui. Pantai Karangbata terletak di bawah, di dasar perbukitan yang laksana jurang. Bukanlah pasir yang menjadi pembatas daratan dan lautan. Tidak pasir hitam, coklat atau putih. Tapi, serak-serak batuan kotak-kotak berwarna hitam lah yang menjadi penunggu celah sempit Pantai Karangbata. Wujudnya mirip dengan arang. Ombak samudera yang garang pun memecah, terhadang para bebatuan hitam ini.

Petualangan berlanjut ke sisi bukit menghadap lautan. Tanjung Karangbata. Bebatuan hitam kali ini menjadi tengara yang mencolok di tepi daratan. Kontras dengan tanah coklat perbukitan di sekitarnya. Bebatuan ini merupakan batuan beku bekas aliran lava darat yang mengalami gaya kontraksi dan membentuk retakan tiang pada saat pembekuannya. Retakan-retakan ini berbentuk polygonal segilima jika dilihat pada permukaannya.

Ah, rupanya ombak cukup tinggi menerjang bebatuan hitam ini. Saya terkaget. Tapi, air laut yang merambat turun perlahan dari batuan beku ini menciptakan pemandangan cantik. Saya terkesima. Luruh dalam deburan ombak berkali-kali.

Kini, sore kian menjelang. Tapi entah kenapa kawasan bukit bergurat-gurat ini makin ramai dengan anak manusia. Mereka datang berpasang-pasangan. Apakah mereka memburu romantisme sunset di sini? Ah, rasanya tidak. Mereka rasanya lebih senang untuk memadu asmara di lekukan-lekukan bukit yang tertutup pandang. Bersembunyi dalam keberduaan. Saya perhatikan, tatkala datang mereka langsung mencari spot teraman untuk bermesraan.

Eits, tapi yang sepasang satu ini sungguh vulgar. Mereka mempertontonkan kemesraan di titik yang bisa terlihat dari berbagai penjuru. Saya padahal sedang melihat bebatuan hitam di seberang yang tetap tegar meski terus terhempas gelombang.  Rupanya, tempat ini menjadi kawasan permisif untuk memuaskan hasrat cinta berselimut nafsu.

Saya sebenarnya tak rela. Kawasan seindah ini menjadi ladang kemesraan yang menjurus kemesuman. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.

Ketersembunyian kadang menciptakan dilema. Pesona yang sunyi adalah sepotong surga bagi pecinta keindahan alam.  Tapi, bagi yang salah memanfaatkan, ini adalah ‘surga’ bagi penoda keimanan
.

 

DAFTAR BLOG TER-UPDATE