KEBUMEN - Akibat tak memiliki sarana pasca panen seperti alat pengering gabah, kadar air gabah petani Kebumen sampai panen raya pertama padi tahun 2014 tak bisa mencapai standar. Karena kadar air tak memenuhi standar dan terlalu banyak kotoran membuat Badan Usaha Logistik (Bulog) menolak hasil panen para petani.
“Daripada memaksakan diri menawarkan gabah ke Bulog yang standarnya rumit untuk ukuran petani kecil seperti saya, lalu ditolak, lebih baik sekarang ini kami berpikir secara sederhana saja,'' ungkap Rakiman (40), petani Desa Karangsari, Kebumen saat menjemur gabahnya, Selasa (08/04).
'' Setiap selesai panen, gabah bisa untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga dan sebagian dijual kepada pedagang beras," tambahnya.
Rakiman mengaku jera menawarkan gabah ke Bulog. Saat diukur oleh petugas, kadar air gabahnya 20 persen, padahal Bulog mensyaratkan 13 persen. Begitu juga kadar kotorannya, masih di atas kadar standar Bulog.
"Butuh waktu lama untuk mencapai standar kekeringan Bulog, paling sedikit 2 minggu pengeringan secara tradisional. Padahal petani ingin segera mendapatkan uang untuk mengembalikan modal usaha. Lebih praktis menjualnya ke pedagang yang mau datang sendiri ke tempat petani," jelas Rakiman.
Imbas pengolahan pasca panen konvensional itu menurut Nono (50), petani Kelurahan Panjer Kebumen, petani tak memiliki daya tawar kepada
pedagang. Harga jual selalu ditentukan secara sepihak oleh pedagang. Apalagi panen raya di tengah-tengah musim penghujan, harga gabah cenderung murah, hanya Rp 3.800 per kilogram yang hanya memberi keuntungan tipis buat petani.
"Harga yang kami inginkan sebetulnya Rp 5 ribu perkilogram mengingat banyak kendala saat tanamnya, diantaranya hama tikus yang sulit diberantas,'' katanya.
"Pedagang tak mau menaikkan harga dengan alasan kadar airnya tinggi karena panen di musim penghujan. Tapi kami tak bisa menawar karena membutuhkan uang secepatnya," ujar Nono. (krjogja/LintasKebumen)