Laman

Sabtu, 03 Mei 2014

Kesulitan Ungkap Politik Uang, Bawaslu Salahkan UU



SEMARANG - Tingginya praktik politik uang (money politics) pada Pemilu 9 April lalu perlu menjadi evaluasi penting bagi penyelenggara Pemilu, khususnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Di sisi lain, Bawaslu mengaku kesulitan tangani money politics karena sejumlah alasan.

Ketua Divisi Pengawasan dan Humas Bawaslu Jawa Tengah, Teguh Purnomo, menuturkan, pengungkapan praktik money politcs itu sulit karena terganjal regulasi undang-undang. 

"Money politics sulit diungkap, karena yang dijerat itu pemberinya. Tapi masyarakat yang diberi lepas, ini secara umum," jelas Teguh kepada wartawan di Semarang, Jumat 2 Mei 2014.

Menurutnya, dalam pasal 301 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2013 mensyaratkan tiga hal tentang regulasi yaitu masa kampanye, masa tenang dan hari pencoblosan. Tiga varian itu mempunyai aturan berbeda jika ada praktik money politics. Di masa kampanye mengisyaratkan sanksi politik uang diberikan bagi yang terdaftar di tim kampanye. Sementara memasuki masa tenang yang dikenai UU adalah pemilih itu sendiri.

"Padahal, syarat pemilih harus terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Maka ada celah jika pelaku itu tak terdaftar di DPT," imbuhnya.

Lain halnya di Hari H pencoblosan. Lanjut Teguh, yang dikenakan dalam UU tersebut adalah bagi siapa saja, akan tetapi yang diiberi sanksi adalah pemberi uang saja. 

"Jadi masyarakat pemilih di sini kan tidak dicantumkan. Pada Pemilu kemarin kan marak sekali, " bebernya.

Alasan kedua Bawaslu kesulitan menangkap pelaku politik uang dalam Pemilu, lanjut Teguh, adalah terbatasnya waktu yang diberikan kepada Bawaslu untuk memproses laporan praktik money politics. Sementara di tingkat Panwas Kabupaten/Kota diberi waktu hanya lima hari saja. "Ini jelas menyulitkan kami. Kami hanya mendapatkan waktu tujuh hari sejak laporan itu jadi terlalu cepat habis waktunya, " tegas mantan Ketua KPU Kebumen itu.

Ketiga, Bawaslu mengaku sulit menangkap pelaku politik uang di Pemilu karena minimnya pengakuan masyarakat yang memberikan informasi kepada pengawas Pemilu. Dengan kata lain, tren pragmatisme masyarakat tentang money politics sangatlah tinggi. 

"Pihak yang terlibat money politics itu massif, tapi informasi pengakuan masyarakat itu justru tertutup. Dan itu jelas menyulitkan kami," ujarnya.

Pada pelaksanaan Pemilu 9 April lalu, jumlah kasus total politik uang yang berhasil ditangani Bawaslu Jateng hanya berjumlah puluhan saja. Baik itu kasus yang melibatkan pegawai negeri sipil (PNS), perangkat desa dan lain-lain.

"Ini akan jadi evaluasi di tingkat nasional. Intinya Jateng low enforcement dan penegakan hukum menjadi nomor 1 untuk memberangus praktik traksaksional atau pulitik uang," katanya.

Pakar Politik Undip Semarang, M Yulianto mengatakan, partisipasi 73 persen pemilih Jateng pemilih hal itu bukan menjadi keberhasilan dan hal yang menggembirakan. Menurutnya, tercapainya target tinggi itu dipengaruhi oleh faktor tingginya praktik politik transaksional (money politics) yang dilakukan oleh caleg. Sehingga dengan logika itu, KPU kurang berhasil dalam hal sosialisasi Pemilu ke publik.

"Partisipasi ini bukan karena sosialisasi KPU, tapi politik uang. Ini justru kemunduran demokrasi, karena politik transaksional semakin meningkat," katanya.

Laporan: Ryan Dwi | Semarang | vivanews

DAFTAR BLOG TER-UPDATE